Oleh Marianus Gaharpung, dosen FH Ubaya
SIKKA - Dana bantuan operasional kesehatan (BOK) bagi tenaga kesehatan Pemkab Sikka tahun 2021 sampai sekarang belum dibayar. Titik lemotnya (lambannya) pelaporan data administrasi ada di Dinas Kesehatan Pemkab Sikka. Ini titik pertanda lemotnya koordinasi, sinkronisasi serta kontroling bupati terhadap kepala dinasnya.
Pertanyaannya, sanksi apa yang sudah diberikan Bupati Sikka kepada Kepala Dinas Kesehatan Sikka yang tidak mampu bekerja agar efek jerah ternyata sampai hari ini dianggap biasa - biasa saja tanpa beban.Padahal dampaknya sangat besar akibat lemotnya pelaporan admimistrasi kepada pemerintah pusat, maka uang yang menjadi hak tenaga kesehatan 2021 sampai sekarang tidak dibayar alias hangus karena yang sudah dibayar tahun tahun 2022 ( Juli dan Desember).
Atas ditariknya dana BOK tenaga kesehatan Sikka menjadi tanggungjawab siapa? Langkah hukum apa yang dilakukan Bupati dan Kepala Dinas Kesehatan Sikka hanya diam atau apa? Ini fakta riil lagi lagi blunder dari Bupati Sikka dalam menertibkan serta melakukan koordinasi kerja oknum oknum kepala dinasnya.
Legal reasoning dan legal argumentationnya adalah sebagai berikut terkait dana BOK, Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Non Fisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2021 mengatur bahwa yang disebut BOK adalah dana yang digunakan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan bidang kesehatan, khususnya pelayanan di Pusat Kesehatan Masyarakat, penurunan angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan malnutrisi.
Program dana BOK dibentuk pertama kali pada tahun 2010, dan mulanya peruntukkan dana BOK hanya untuk upaya meringankan beban masyarakat dalam hal biaya kesehatan dan operasional kesehatan di Puskesmas maupun Posyandu.
Namun dengan adanya Covid-19 di Indonesia, peruntukkan dana BOK juga digunakan untuk upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2021.
Terkait dengan insentif tenaga kesehatan itu sendiri, sumber dana BOK yang dimaksud adalah dana BOK Tambahan. Pasal 1 angka 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2020 Dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional, BOK Tambahan adalah dana yang dialokasikan dalam APBN Tahun Anggaran 2020 kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk memberikan insentif kepada tenaga kesehatan di daerah dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.
Yang menjadi persoalan di Kabupaten Sikka adalah dana BOK Tambahan yang merupakan sumber insentif yang ditarik kembali dan/atau belum diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah setempat, sehingga sejak bulan September Tahun 2020 hingga Juli Tahun 2021 insentif tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 tak kunjung dibayarkan oleh Pemkab Sikka.
Dana BOK Tambahan belum diberikan oleh pemerintah pusat disebabkan bukan karena belum dilakukannya refocusing dan re-alokasi anggaran APBD Kabupaten Sikka untuk Covid-19 melainkan karena lemotnya administrasi Dinas Kesehatan Pemkab Sikka dalam menyampaikan data kepada pemerintah pusat.
Ini fakta yang sangat memalukan jika kejadian ditahun 70-an sangat dipahami tetapi di zaman canggih komputerisasi seperti sekarang bisa - bisanya terlambat ini bukti Kadis Kesehatan tidak mampu bekerja. Karena keterlambatan melapor, maka dianggap belum melakukan refocusing dan realokasi anggaran.
Karena berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah daerah yang belum melakukan refocusing dan re-alokasi anggaran akan dikenakan sanksi rasionalisasi dana transfer, yang artinya penundaan dana transfer termasuk Dana BOK Tambahan, sehingga insentif belum dibayarkan oleh karena dana BOK Tambahan belum di-transfer atau ditarik oleh pemerintah pusat.
Hal ini dapat dikatakan bahwa pengenaan sanksi merupakan dampak dari tata kelola uang yang kurang baik tidak terbuka, efektif dan efisien oleh Pemkab Sikka.
Jika persoalan tersebut di atas dijadikan sebagai sebuah alur, maka alur persoalannya adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka belum melakukan kewajibannya pemenuhan data laporannya sehingga dianggap belum refocusing dan re-alokasi anggaran untuk Covid-19
2. Pemerintah Pusat memberikan sanksi yakni rasionalisasi dana transfer
3. Dampak dari pengenaan sanksi tersebut adalah Dana BOK Tambahan yang merupakan sumber insentif juga ditunda pembayarannya ke pemerintah daerah
4. Pemerintah daerah tidak ada dana yang dapat digunakan untuk pembayaran insentif
5. Insentif menjadi terlambat untuk dibayarkan sejak September 2020 hingga Juli 2021.
Berdasarkan alur tersebut, permasalahan tersebut, makaberdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan daerah jo. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan wajib melakukan pengelolaan keuangan daerah secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat, serta taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Berbagai kewenangan dimiliki oleh Kepala Daerah untuk mengelola keuangan daerah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak dibayarkan dana BOK kepada tenaga kesehatan menyebabkan dana insentif tidak dapat dibayarkan sejatinya merupakan kesalahan dari Bupati sebagai pemegang kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Menteri Keuangan tertanggal 21 Juli 2021 dalam Konferensi Pers “APBN Kita”, upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah dengan menjadikan DAU dan DBH sebagai opsi pembayaran insentif kepada para tenaga kesehatan jika dana BOK yang dimiliki oleh pemerintah daerah tidak cukup digunakan untuk insentif.
Sesungguhnya pengenaan sanksi rasionalisasi dana transfer diterapkan kepada pemerintah daerah sebagai bentuk keseriusan dari pemerintah pusat bahwa refocusing dan re-alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 tidak bisa disepelehkan. Akan tetapi berkaitan dengan hak-hak para tenaga kesehatan yang telah mempertaruhkan nyawanya menangani Covid-19, pemerintah daerah boleh menggunakan DAU dan DBH untuk pembayaran insentif.
Kendati demikian, upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai pihak yang dirugikan karena adanya TINDAKAN FAKTUAL Pejabat Tata Usaha Negara yang merugikan tenaga kesehatan bisa gugat Bupati Sikka ke Pengadilan TUN Kupang hanya kendati tidak mungkin lagi karena jangka waktu 90 hari telah lampau.
Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa “warga masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Jika telah melakukan upaya administratif namun belum puas atas jawaban atau tanggapan dari pejabat administrasi yang bersangkutan, maka para tenaga kesehatan dapat mengajukan gugatan ke PTUN dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Hal ini diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan cara lain, tenaga kesehatan secara kelompok (clas action) diwakili beberapa orang yang punya kepentingan yang sama dapat gugat Pemerintah dengan dasar perbuatan melanggar hukum atau melanggar hak orang lain (tenaga kesehatan) berupa dana insentif yang tidak dapat diterima akibat kelalaian Kepala Dinas Kesehatan dalam memberikan data kepada Pemerintah Pusat berdasarkan Pasal 1365 KUH. Perdata di Pengadilan Negeri Maumere.